Rabu, 16 Juli 2014

Keuangan Mikro dan Keputusan Tepat Alat Pangkas Kemiskinan

Banyak yang bilang negara kita, Indonesia adalah negara miskin. Tapi sebenarnya Indonesia negara yang kaya loh! Kaya dalam hal apa? Siapa yang tidak tahu bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh negara lain? Tapi kenapa negara kita masih menyandang predikat sebagai negara berkembang? Pada umumnya banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Misal, pengangguran, kurangnya kesempatan kerja, kemiskinan, nilai inflasi yang semakin tinggi, dan keputusan pemerintah yang kurang tepat.
Kadang Indonesia lupa akan pentingnya UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) sebagai penyelamat kemiskinan. UMKM sudah teruji tahan banting ketika Indonesia terlindas krisis ekonomi 1997/1998. Tatkala UMKM makin berkembang, segmen ini makin sanggup menyerap tenaga kerja lebih banyak sekaligus menciptakan kesempatan kerja baru. Lantas, bagaimana kiat memangkas kemiskinan? Pertama, bank nasional harus lebih fokus ke UMKM. Kenapa? Statistik perbankan Indonesia yang terbit 17 Juni 2013 menunjukan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) naik 16,03% dari Rp 468 triliun per April 2012 menjadi Rp 543 triliun per April 2013. Menurut UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang-perseorangan dan / atau badan usaha perseorangan. Jadi, dengan lebih mendukung dan fokusnya bank nasional ke UMKM, akan menumbuh kembangkan badan usaha perseorangan yang dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan, karena UMKM akan mampu membuka peluang kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja. Kedua, menggalakkan keuangan mikro. Pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2013 Tanggal 8 Januari 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Penerbitan UU itu dengan menimbang bahwa masih terdapat kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan layanan jasa keuangan mikro yang memfasilitasi masyarakat miskin dan / atau berpenghasilan rendah yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. LKM bertujuan untuk meningkatkan akses pendanaan skala mikro, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktifitas masyarakat serta pendapatan dan kesehjateraan masyarakat. Ketiga, lebih memprioritaskan keuangan mikro, bukan lembaganya. Sesungguhnya akan jauh lebih mendesak dan penting untuk mengembangkan keuangan mikro daripada lembaganya. Sebagai perbandingan, tengok saja Global Microcredit Summit di Washington, AS (1997), yang menyepakati empat kriteria keuangan mikro, yaitu menjangkau yang miskin, menjangkau dan memberdayakan perempuan, membangun kelembagaan yang berkelanjutan secara finansial, dan dampak kegiatannya terukur. Oleh karena itu, setiap negara, termasuk Indonesia harus menggunakan empat kriteria itu sebagai pedoman. Apakah negara kita sudah menggunakan kriteria tersebut? Harus diakui selama ini pengembangan keuangan mikro di Indonesia belum maksimal.
Usaha untuk mengembangkan keuangan mikro memang patut disambut baik. Tapi sesungguhnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk direvisi agar lebih mempertajam pemangkasan kemiskinan. Pertama, bentuk badan hukum LKM. UU LKM menyebutkan bahwa bentuk badan hukum LKM itu adalah koperasi dan PT. Padahal masih ada bentuk badan hukum bank yang mempunyai unit khusus untuk melayani kredit dan pembiayaan mikro. Sebut saja Bank BRI, BPR, Bank Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan Bank Saudara. Kedua, over-killed. Salah satu hal yang perlu dicermati adalah jangan sampai terjadi nasabah diberi kredit atau pembiayaan melebihi kekuatan keuangannya hanya untuk mengejar target. Hal ini hanya akan menimbulkan “bunuh diri” (over-killed).
Jadi dengan fokusnya pemerintah kepada keuangan mikro, tingkat pengangguran dan kemiskinan sedikit demi sedikit akan mudah terpangkas. Sebab UMKM dan LKM memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempunyai usaha produktif yang otomatis akan membuka sebuah kesempatan kerja dan mengurangi tingginya tingkat pengangguran. Ingat, sebagian dari 1 miliar lebih orang yang hidup dengan kurang dari USD1 atau setara Rp10.000 sehari itu berada di Indonesia. Untuk itu, pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dituntut untuk lebih mengembangkan keuangan mikro sebagai garda depan dalam memangkas kemiskinan. Kenapa? Karena peningkatan kemampuan finansial masyarakat bawah otomatis akan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Permasalah lainnya ialah nilai inflasi yang cukup tinggi. Kita bahas saja berita yang baru-baru ini terjadi, kenaikan harga BBM bersubsidi. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan memburuknya perekonomian global telah menekan penerimaan negara. Belanja subsidi juga terus membengkak karena pembangunan yang cepat berakibat pada lonjakan konsumsi BBM. Dua hal tersebut mengancam defisit anggaran hingga melewati batas yang ditentukan dalam UUAPBN (Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yakni 3%. Tentu kita tahu kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang berdampak pada daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kemudian apa yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi dampak seperti ini? Demi mengantisipasi melemahnya daya beli masyarakat, pemerintah kemudian memberikan program kompensasi, mulai dari Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), beasiswa miskin, serta infrastruktur dasar. Pertayaannya, apakah hal itu mampu memangkas tingkat kemiskinan? Sebentar saja! Namun setelah itu, BLSM bagai balsam saja yang dioleskan pada orang sakit. Artinya, sakitnya tidak hilang atau tingkat kemiskinan belum surut. Bahkan bila ditelusuri lagi, BLSM pun kerap tidak tepat sasaran. Apakah mereka yang memakai motor, perhiasaan, dan handphone bagus berhak untuk menerima BLSM? Tentu saja tidak kan? Namun mengapa masih terjadi hal yang demikian? BLSM juga dapat berpengaruh pada tingkat pengangguran. Ko bisa? BLSM membuat sebagian masyarakat menjadi manja dan malas untuk berkerja, karena mereka hanya mengandalkan uang BLSM yang turun per bulannya.
Jika kita mengkritisi kinerja pemerintah, ini terjadi karena pemerintah kurang maksimal dalam menghimpun pendapatan. Jika pemerintah mampu meningkatkan pendapatan, sebenarnya kenaikan harga BBM tak perlu dilakukan. Misalnya pemerintah berusaha meningkatkan jumlah wajib pajak dan memastikan mereka melaksanakan kewajibannya. Yang terjadi target pendapatan dari pajak malah diturunkan. Sebenarnya dalam hal ini keputusan pemerintah yang kurang tepatlah yang membuat pemerintah dan masyarakat kewalahan sendiri. Jadi apa hal yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut? Pertama, kita tentu tahu dalam penyusunan APBN terdapat prinsip dan asas. Prinsip penyusunan APBN didasarkan pada dua aspek, yaitu aspek pengeluaran dan pendapatan. Prinsip penyusunan APBN berdasarkan aspek pendapatanada 3 hal. Yang pertama, mengintensifkan penerimaan sektor anggaran dalam jumlah dan ketetapan penyetor. Kedua, mengintensifkan penagihan dan pungutan piutang negara. Ketiga, mengintensifkan tuntutan ganti rugi yang diterima oleh negara dan denda yang dijanjikan.Sedangkan berdasarkan aspek pengeluaran yaitu hemat, tidak boros, efisien dan berdaya guna serta sesuai dengan kebutuhan teknis yang ada, terarah dan terkendali sesuai dengan anggaran dan program kegiatan, mengusahakan semaksimal mungkin membeli produk-produk dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan/potensi yang dimiliki.
Selain pada prinsip, kita juga melihat pada asas penyusunan APBN. Apa saja?
·  Kemandirian. Artinya pembiayaan negara didasarkan atas kemampuan negera. Sedangkan pinjaman luar negeri digunakan sebagai pelengkap.
·  Penghematan atau peningkatan efisiensi dan produktifitas.
·  Penajaman prioritas pembangunan. Artinya APBN harus mengutamakan pada pembiayaan yang lebih bermanfaat.
Jika melihat pada prinsip dan asas penyusunan APBN, pemerintah seharusnya lebih mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat dan tidak merugikan masyarakat. Lantas apa yang kurang? Kedua, pemerintah harus lebih mengoptimalkan fungsi dari APBN. Yang pertama,Fungsi alokasi. Pendapatan yang paling besar dari pemerintah berasal dari pajak. Penghasilan dari pajak yang diterima harus dialokasikan ke berbagai sektor. Digunakan untuk membangun sarana umum, seperti jembatan, jalan, taman umum, dan pengeluaran lainnya yang bersifat umum.Selain itu juga melakukan efisiensi anggaran pemerintah tanpa memangkas anggaran pembangunan infrastruktur. Kedua, Fungsi distribusi. Dalam APBN tidak selalu harus didistribusikan untuk kepentingan umum, melainkan dapat dalam bentuk dana subsidi dan dana pensiun. Ketiga, Fungsi stabilisasi. Dengan menetapkan APBN sesuai alokasi yang ditentukan akan menjaga kestabilan arus uang  dan barang sehingga dapat menghindari terjadinya inflasi atau deflasi.
Dengan memperhatikan prinsip, asas, dan fungsi APBN mengapa APBN masih mengalami defisit anggaran akibat penerimaan dalam negeri yang lebih kecil dari belanja negara? Kita tahu pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak dan bukan pajak. Sedangkan pengeluaran yang terjadi ialah belanja pemerintah pusat. Selisih dari pendapatan dengan pengeluaran negara adalah tabungan. Tabungan pemerintah ini digunakan untuk membiayai proyek pembangunan. Namun, pendapatan negara sering lebih kecil daripada pengeluaran negara. Jadi apa lagi yang harus diperbuat? Ketiga, pemerintah harus mengambil suatu kebijakan yang tepat, yaitu kebijakan fiskal (anggaran). Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Perlu diketahui bahwa dalam banyak hal, rumah tangga negara tidak sama dengan rumah tangga keluarga. Pada rumah tangga keluarga, jika penerimaan semakin menurun, salah satu tindakan yang ditempuh adalah menekan pengeluaran. Tindakan demikian dapat menyelamatkan kemunduran ekonomi rumah tangga keluarga. Sebaliknya dalam rumah tangga negara, penurunan penerimaan tidak selalu diatasi dengan mengurangi pengeluaran. Jika pengeluaran yang ditekan, maka kegiatan ekonomi akan menjadi lesu. Kelesuan ekonomi dapat mengakibatkan pengangguran, yang berdampak pada penurunan penerimaan. Kebijakan fiskal bertujuan untuk memperbaiki keadaan ekonomi, mengusahakan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran), dan menjaga kestabilan harga-harga secara umum. Dengan kata lain, kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Agar kebijakan fiskal dapat berjalan dengan lancar,kebijakan ini harus diimbangi dengan empat jenis pembiayaan. Apa saja?
1.      Pembiayaan fungsional. Pembiayaan pengeluaran pemerintah harus ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan nasional. Penerimaan pemerintah dari sektor pajak bukan ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, tetapi bertujuan untuk mengatur pengeluaran swasta. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja.
2.      Pengelolaan anggaran. Diperlukan anggaran berimbang dengan resep bahwa jika terjadi depresi, maka ditempuh anggaran defisit, dan jika terjadi inflasi  maka ditempuh anggaran belanja surplus.
3.      Stabilisasi anggaran otomatis. Dengan stabilisasi anggaran ini, pengeluaran pemerintah lebih ditekankan pada asas manfaat dan biaya relatif dari berbagai paket program. Pajak ditetapkan sedemikian rupa sehingga terdapat anggaran belanja surplus dalam kesempatan kerja penuh.
4.      Anggaran belanja seimbang. Dalam hal ini cara yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan keadaan (Manage Budget). Tujuannya adalah tercapai anggaran berimbang dalam jangka panjang. Dalam keadaan terpaksa, seperti ketika terjadi ketidakstabilan ekonomi,ditempuh anggaran defisit. Sedangkan pada masa inflasi ditempuh anggaran surplus.
Jika pemerintah ingin mencapai manfaat tertinggi dalam mengelola anggaran, ada pula hal-hal yang harus diperhatikan dan ditempuh. Apa saja?
·  Anggaran berimbang. Diusahakan agar pengeluaran dan pendapatan (penerimaan) sama. Keadaan seperti ini dapat menstabilakan ekonomi dan anggaran.
·  Anggaran surplus. Pada anggaran surplus tidak semua penerimaan dibelanjakan, sehingga terdapat tabungan pemerintah. Hal ini tepat digunakan jika keadaan ekonomi mengalami inflasi.
·  Anggaran defisit. Pada anggaran defisit, anggaran disusun sedemikaian rupa sehingga pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan. Anggaran defisit dapat berakibat inflasi karena untuk menutup defisit harus dilakukan, misalnya meminjam atau mencetak uang.

Pengangguran, kurangnya kesempatan kerja, kemiskinan, inflasi adalah masalah yang lazim dinegara berkembang. Difokuskannya pada UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) tentu saja dapat membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan, serta akan mampumenciptakan kesempatan kerja. Karena kemampuan finansial masyarakat bawah otomatis akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Nilai inflasi yang cukup tinggi pun ikut andil dalam menambah angka kemiskinan. Dengan begitu pemerintah haruslah tepat dalam mengambil keputusan. Pemerintah mesti mengoptimalkan fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Pemerintah), mengoptimalkan penyerapan belanja pemerintah agar mendorong kegiatan ekonomi, dan melakukan anggaran belanja seimbang; dimana pengeluaran dan pendapatan (penerimaan) sama, tidak semua anggaran penerimaan dibelanjakan sehingga terdapat tabungan pemerintah. Hal ini tepat digunakan jika keadaan ekonomi mengalami inflasi.

0 komentar:

Posting Komentar